Siapa saja tak pernah tahu akan kejelasan hidup dan nasibnya, yang terpenting adalah terus menjalani hidup
Cerita ini menuliskan tentang perjalanan hidup seorang Pak tua, dengan berbagai macam pekerjaan dan cerita kehidupan.
“Mempertahankan harga diri sama halnya dengan menjaga perintah Tuhan, bahwa masing – masing manusia sudah dijamin rezki baginya. Maka tak perlu menyogok dan menjilat hanya untuk sebuah pekerjaan. Hal inilah yang selalu menjadi pegangan bagi Pak tua.”
[10/7 00.02] Aku: Semenjak ku kenalkan ia pada kopi. Ku kasih tahu dia kedai kopi yang enak di kota ini, walau tak secara langsung ku ajarkan ia cara menyeduh kopi yang nikmat untuk diminum. Tapi dia menemukan cara sendiri, barangkali dari pemilik kedai kopi tadi dia belajar.
Belakangan ini dia bahkan pandai berfilosofi tentang kopi, tentang hari – hari yang tak biasa atau tentang mejelis raja – raja yang kerap dimasukinya. Itu diceritakan pada semua orang yang duduk semeja, kepada pramusaji, pengusaha kecil dan siapa saja yang bertemu dengannya.
Kopi memang telah membuat hidupnya latah, tapi tak mengapa asal tak pongah. Apa saja pengetahuan baru yang didengarnya, pasti langsung ia ceritakan pada orang lain. Semisal cara penyeduhan kopi, lengkap dengan ukuran suhu serta berat kopi dan kadar air yang pas.
Akhir – akhir ini, ia mengetahui cara budidaya kopi sampai cara memproses biji kopi sehingga semakin asik untuk dinikmati. Bagaikan pemateri tingkat tinggi, kini seisi kedai kopi terpaksa mendengar uraian kopinya.
Berceritalah salah seorang pengunjung kepada kawannya, bahwa ternyata proses pengolahan biji kopi tak seperti yang ia ceritakan itu. Proses semiwash itu tidak sama dengan fullwash!, fullwash setelah kulit buah kopi dikupas, biji kopi mesti dicuci bersih dan tak perlu fermentasi, boleh langsung dijemur. Sedangkan semiwash, harus difermentasi selama 8 jam atau 1 malam. Kawannya hanya menganggukkan kepala, entah paham entah tidak. Sebab suara musik di kedai kopi tak pernah peduli dengan cerita siapa saja.
Tapi sang penikmat kopi yang latah tadi justru lebih tak peduli, makin keras suara musik makin keras pula suaranya menceritakan bahwa kalau proses pengolahan kopi itu bagus, harganya dua kali lipat dari pengolahan biasa.
Ternyata setelah aku kenalkan ia pada kopi, hari – harinya tak lagi sekedar pensiunan Abri, yang menghabiskan waktu bersama cucu – cucu. Ia kembali menggeliat pada waktu, dijelajahinya bukit dan gunung tempat kopi itu tumbuh. Pasti ia sekarang sudah sangat dekat dengan petani, sehingga paham cara budidaya kopi. Ia jadi tahu, bahwa kopi harus dipangkas secara berkala. Pemangkasannya juga berpola, yaitu dengan zig zag atau sistem 212. Ah, entahlah esok ia akan menjadi pelatih sepak bola pula, sebab kini bicara tanaman kopi sudah berpola. Memang agak aneh rasanya.
Malam semakin larut, musik sudah berhenti. Tetapi pak tua tadi belum pulang, darahnya masih kuat, suaranya masih stabil dan sekitar empat orang masih menyimak ceritanya. Empat orang itu terlihat jauh lebih muda dari dirinya, mereka berbaju kaos, dua diantaranya merokok, satunya lagi asik bermain game dan satunya lagi asik berdialog dengan pak tua.
Kini kopi benar – benar telah menjadi candu bagi pak tua, semalam ia bisa memesan dua menu kopi yang berbeda. Awalnya ia pesan kopi robusta dengan susu, setelah itu ia pasti memesan kopi arabika tanpa susu, di buku menu itu tertulis V60 atau kita membacanya denga V sixty.
Katanya sih kopi penguat daya ingat, pemacu adrenalin dan memperlancar peredaran darah.”Tapi kok jam 10 malam kita sudah mengantuk?,” celetuk seorang pemuda yang menemani pak tua itu.
Ia, itu namanya kamu relax, kata pak tua. “Kamu jadi merasa santai dan inilah salah satu kelebihan dari kopi murni, yang saat ini kita minum!,” tutur pak tua sambil mereguk tetes terakhir dari V60 nya.
Malam kian berlanjut, jarum jam sudah melewati pukul 1 pagi. Orang kedai kopi sudah mulai mengangkat kursi, seiring dengan suasana kota mulai menjadi sunyi. Hanya terdengar suara kendaraan yang melintasi jalan, di kota kecil yang beranjak besar itu pak tua menutup cerita dengan banyak rencana, esok ia akan ke kebun kopi!
Di kebun kopi pak tua memakai topi, celana jeans nya disinsingkan hingga betis. Diikutinya setiap gerak petani, jika petani memetik buah kopi ia pasti juga ikut. Jika petani memangkas, ia ikut pula memainkan gunting daun. Namun jika petani hanya jalan – jalan di kebun, justru dia tetap melakukan aktivitas pemangkasan atau pemanenan sendiri, atau sesekali berdialog dengan petani tentang banyak hal.
Petani – petani kopi itu kini sudah modern, masing – masingnya sudah memiliki gadget. Jadi cerita dengan pak tua mereka langsung nyambung, mereka tak perlu lagi dijelaskan soal expor – impor. Karena produksi lahan mereka hanya cukup untuk memenuhi pasar dalam negeri, biarlah mereka fokus menjaga kwalitas biji kopi menjadi specialty.
5 tahun belakangan para petani kopi memang termasuk orang kulot, tetapi setalah pak tua sering ke kebun mereka, semuanya jadi paham bagaimana mengatasi fluktuasi harga, “kata pak tua, harus dengan pengolahan hasil, bikin kopi specialty, mutunya terjamin dan sesuai standar dunia,” kata seorang petani yang sebaya dengan pak tua, umurnya 65.
Perjalanan pak tua 5 tahun belakangan, sejak ku kenalkan ia pada kopi, memang telah banyak merubah tatanan pertanian kopi. Pengolahan pasca panen yang diajarkan pak tua rupanya telah memberantas tengkulak, sebab para lintah darat itu tak paham akan pasar kopi specialty. Mereka kini telah beralih profesi, menjadi tukang panen kopi. Masing – masing mereka digaji seribu rupiah per kilogram buah kopi.
Awal waktu, pak tua sering mendapatkan perlawanan dari para tengkulak. Mereka menyiarkan kabar yang tidak – tidak kepada petani, “pak tua akan menguasai lahanmu!,” kata tengkulak kepada Datuk Putih, seorang pemilik kebun kopi terluas di kaki gunung sago itu.
Datuk Putih yang seorang penghulu, mengajak pak tua ke kebunnya. Menanyakan apa sebenarnya maksud pak tua sering berkunjung ke kebunnya, o.. ternyata pak tua hanya ingin menaikkan nilai jual kopi. “Biasanya harga biji kopi disini hanya 19ribu per kilogram, pak tua ingin menaikkannya menjadi 60ribu per kilogram, untuk jenis robusta. Sedangkan yang jenisnya arabika, ingin dinaikkan pak tua menjadi 90ribu perkilogram, jika begini, jelas kami senang.” Kata Datuk Putih.
Dari pak tua pula, petani – petani menjadi tahu kalau ternyata untuk ketinggian diatas 900mdpl baik untuk jenis kopi arabika, kopi termahal dan selama ini tak berharga di kampungnya.
Setelah ku kenalkan ia pada kopi, pak tua tahu pula cara penjemuran kopi yang baik. Mesti 70cm di atas tanah, karena sifatnya kopi menyerap bau, kalau dijemur dengan terpal di atas tanah maka kopi akan menyerap bau tanah. Kalau kopi dijemur di atas lantai semen, maka kopi akan menyerap bau semen.
Dari sini ilmu perkopian pak tua bermula, ia langsung membangun penjemuran seperti yang ku ajarkan. Bersama petani ia menebang bambu, bahu membahu. Menjadikan pelupuh bambu sebagai alas dan pangkal bambu sebagai tiang, tak lupa mereka memasang plastik bening sebagai atapnya.
Sehingga kalau hujan turun dan kopi belum kering, petani tak perlu repot untuk meneduhkan biji kopinya. Petani jadi semakin senang berkawan dengan pak tua!
Diusia senja pengabdian pak tua semakin berguna bagi bangsa, rutinitasnya kini adalah kedai kopi dan kebun kopi. Sebenarnya pak tua tiap hari ke kedai kopi juga membawa biji kopi, hasil olahan petani di lereng gunung sago untuk kemudian pemilik kedai menyagrainya, lalu menyajikan ke pengunjung.
Kopi adalah bukti kenikmatan hidup, dari setiap tegukannya ada proses panjang. Maka nikmat harus dibagi – bagi, karena Maha Pemberi sudah mengutus 1 malaikat pembagi rezeki.
Diawal malam hari itu, pak tua kembali duduk satu meja dengan anak muda yang dulu. Melanjutkan cerita yang ia ketahui dariku, atau dari pengalamannya saban waktu. Bahwa perkopian dikampungnya harus terus di upgrade, ia tahu kopi itu ada skornya. Diuji oleh ahli – ahli kopi dunia, sehingga mendapatkan harga yang lebih layak.
“Orang idealis bertemu dengan orang idealis, mereka saling menguatkan pemahaman sendiri, bukan bersinergi untuk saling melengkapi. Justru saling terjebak dalam kerangka berfikir masing – masing, pak tua yang memahami kopi dengan idealis harus menghadapi realita di bidang lain.”
Kebiasaan pak tua yang latah, langsung saja ia membentuk tim untuk perkopian di kampungnya itu. Hebatnya empat orang pemuda tadi langsung setuju, dua orang pemuda yang perokok dijadikannya tim pemasaran, satu orang pecandu game dapat bagian untuk multimedia dan seorang yang gemar diskusi dengannya sebagai humas dan informasi.
Pak tua ingat kata Saidina Ali, “kebenaran yang tidak terorganisir, akan tunduk kepada kejahatan yang terorganisir,” pak tua mencoba mengorganisir kebenaran dalam hal perkopian. Karena yang dihadapi dalam dunia dagang adalah para kapitalis.
Mereka bersekutu, menjadi pemilik modal besar, lalu seenaknya mengatur harga dan pasar. Mereka besar, cepat dan kuat, apa yang mereka inginkan bisa langsung dibuat. Sedangkan di kampung, petani, pelaku usaha kecil bak berselimut kain sarung. Ada pasar, tapi tak ada modal, pun sebaliknya.
“Ini zaman pasar bebas, kekuatan modal harus mampu memenuhi permintaan pasar. Modal sekarang menjadi jawaban, sekaligus pertanyaan dalam persaingan bisnis.” Kata pak tua kepada empat orang pemuda.
Angin semilir perlahan mulai terasa, diatas terlihat langit mulai gelap. Di kedai kopi lintas sumatera, pak tua semakin antusias bercerita. Kali ini obrolannya mulai sedikit terkhusus, ia panggil empat orang pemuda itu satu persatu. Pak tua mulai merancang strategi, mengatur strategi menguasai kopi dari hulu hingga hilir.
Malam Minggu Pak Tua
“Tentang ide – ide yang buntu dan orang – orang membisu, seperti waktu kehidupan pak tua terus berlalu. Disusurinya jalanan kota malam itu, dengan dingin dan sejuta ingin. Ia tak mau tertinggal dalam ruang gerak kehidupan.”
Pak tua menyusun janji, dengan empat orang pemuda yang kini sudah menjadi tim perkopiannya. Bertemu di kedai kopi, namun kali ini tak banyak diskusi, malam hanya dihabiskan dengan dua gelas kopi dan mereka sibuk menyaksikan orang – orang berlalu.
Sesekali memegang gadget dan Romi si pemuda gemar game, bagian IT, kini menunjukkan design kemasan kopi. Ukurannya sekitar 5×8 cm, dibagian bawah agak melengkung sehingga berbentuk gelas. Akan tetapi Romi menyebutnya berbentuk tameng atau perisai, lantas Romi menjeleskan filosofinya.
Di dalam garis – garis itu, Romi membubuhkan dua butir biji kopi dan gelas berasap secara abstrak, namun jelas menunjukan itu cangkir berisi kopi. Di bawahnya Romi menuliskan ‘Kopi Asli Gunung Sago’. Tak lupa dibagian atas, Romi menuliskan merek utama produk tersebut.
Hasan dan Ihsan
Lain pula dengan Hasan dan Ihsan, dua orang perokok yang memegang bidang pemasaran itu, (bersambung)
Baca berita selengkapnya di sini..
from Berita Sumbar
via BeritaSumbar.com
Comments
Post a Comment